Rabu, 11 Agustus 2010

Mentari di Kaki Merpati

Kaki gunung merapi. Tidak pernah terbayangkan tempat ini akan menjadi tempat praktekku yang pertama setelah lulus dari fakultas kedokteran sebuah universitas ternama di Jakarta. Tanpa kusangka, sebuah desa bernama Ringinanom dengan jumlah penduduk tidak lebih dari seratus orang itu mampu memikat hatiku saat pertama kali aku datang. “Eh, pak dokter sudah datang. Monggo, mari silakan,” kata bu Lurah yang menyambutku di rumahnya. Jauhnya perjalanan yang harus kutempuh dan nyamannya udara desa yang bersih dari polusi membuatku tidak sabar untuk beristirahat. “Silakan beristirahat dulu, pak dokter. Maaf, tempatnya ndak seperti rumah pak dokter di kota,” kata bu Lurah lagi. Aku tersenyum dan menggeleng. “Tidak apa-apa, Bu,” kataku sambil menenteng tasku. Setelah mengucapkan terimakasih, aku segera merebahkan tubuhku di sebuah kamar kecil di samping kamar pak Lurah. Mataku hampir saja terpejam saat sebuah ketukan halus terdengar di pintu. “Ini kopi dan singkong rebus, pak dokter. Bisa untuk menghilangkan capek,” kata bu Lurah sambil membawakan nampan berwarna merah berisi segelas kopi dan sepiring singkong rebus yang masih mengepul. Aku memutuskan untuk makan bersama bu Lurah di ruang makan. “Oh, jadi pak dokter ini anak tunggal to,” kata bu Lurah sambil mencocol singkong rebusnya dengan garam. Aku mengangguk. Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki dari luar. “Mboook. Ini sayur kangkungnya sudah dipetik,” kata seorang gadis yang langsung berdiri di samping bu Lurah. Dia tersenyum kikuk ke arahku setelah menyadari simboknya sedang bersama seseorang. “Kenalkan, Nduk. Ini dokter Yongki. Dia akan bertugas disini selama beberapa bulan,” kata bu Lurah sambil memperkenalkanku pada puterinya. Aku langsung menjulurkan tanganku. “Yongki,” kataku singkat. Gadis itu tersenyum manis. “Mentari,” jawabnya. Itulah yang membuatku terpikat untuk pertama kalinya. +++ Keesokan paginya, Mentari mengajakku untuk berkeliling desa dengan menaiki sepeda. Aku harus memahami lingkungan desa ini karena sore nanti aku sudah mulai praktek. Dengan sabar Mentari menjelaskan desanya padaku. Dia hafal dengan semua warga yang hidup di desanya. Hm… puteri lurah yang baik, batinku. Matahari mulai bersinar terik saat Mentari mengajakku ke kebun mentimun miliknya. Dia memetikkan sebuah timun berukuran besar dan memotongnya menjadi dua bagian. “Silakan dimakan,” katanya padaku yang sudah mulai mengibas-ngibaskan tangan karena kepanasan. Aku tersenyum dan mencari-cari air untuk mencuci mentimunku. “Sini biar saya bersihkan,” kata Mentari sambil mengambil mentimun itu dari tanganku. Dia mengelap mentimunku dengan selendang yang ada di pinggangnya. “Nih,” katanya sambil menyerahkan mentimun itu. Aku menerimanya dengan kikuk. “Tenang saja. Dokter ndak akan sakit perut gara-gara makan mentimun yang belum dicuci,” kata Mentari geli saat melihat keragu-raguanku. Aku segera menggigit mentimun itu. Dapat kurasakan kesegaran mengalir di kerongkonganku. Hm, lumayan, batinku sambil menggigit mentimun itu sekali lagi. Tiba-tiba Mentari tertawa. “Dokter ndak pernah makan timun sebelumnya ya?” tanyanya heran. “Eh… em… Pernah kok,” kataku kikuk sambil menatap Mentari yang sedang tersenyum manis. Dia kembali tertawa. “Tapi belum pernah kan, makan timun di tengah sawah begini?” tanyanya lagi. Aku tersenyum malu dan menggeleng. Mentari kembali tertawa lepas. Itulah yang membuatku terpikat untuk kedua kalinya. +++ Sore harinya, Mentari mengantarku ke sebuah klinik yang akan menjadi tempatku praktek. Rupanya beberapa orang manula dan dua orang balita telah menunggu kedatanganku. Aku bergegas masuk ke ruang praktek sedangkan Mentari mendaftar pasien satu persatu. “Bapak Slamet,” panggil Mentari. Seorang manula masuk. Aku segera menyilakannya duduk di kursi dan menanyakan keluhannya. Tak lama kemudian aku selesai memeriksa pasien pertamaku. Klinik kecil ini tidak memiliki ranjang periksa sehingga aku terpaksa memeriksa pasienku dengan posisi duduk. Klinik mulai ramai setelah seorang ibu bersama balita masuk ke ruang periksa. Balita berusia empat tahun itu menangis meraung-raung saat aku meminta ibunya menidurkannya di pangkuan. Untunglah Mentari datang dan membantuku menenangkan pasien kecil itu. Pasien ketigaku adalah seorang manula yang hanya mampu berbicara dalam bahasa Jawa. Aku yang tidak mengerti bahasa Jawa meminta bantuan Mentari untuk menerjemahkannya. Selanjutnya, beberapa orang manula dan balita selesai kuperiksa. Sore berganti petang saat aku mengunci pintu klinik. Aku dan mentari berjalan beriringan menuju rumah. “Kamu capek ya, Mentari?” tanyaku saat melihat wajah kusut Mentari. Dia menggeleng. “Ndak apa-apa kok, Mas Yongki,” jawabnya sambil tersenyum. Aku yang memintanya untuk memanggilku “mas” setelah acara makan memakan timun tadi siang. “Terimakasih ya, kamu sudah membantu saya di klinik sore ini,” kataku. Mentari tersenyum. “Itu tugas saya, Mas. Saya memang harus menemani mas Yongki selama bertugas disini,” kata Mentari. Jalan yang mulai gelap memaksaku lebih berhati-hati. Sesekali aku terperosok lubang di tengah jalan atau kakiku tertusuk duri-duri tanaman liar. Tanganku sibuk menggaruk-garuk leher dan telingaku yang menjadi sasaran empuk nyamuk malam itu. Tiba-tiba tangan Mentari meraih tanganku. “Sini Mas, biar saya bantu,” katanya sambil menggandeng tanganku. Itulah yang membuatku terpikat untuk ketiga kalinya. +++ Keesokan harinya aku mulai praktek full time di klinik. Meskipun pasienku tidak terlalu banyak, namun aku sedikit kelelahan karena harus menjelaskan berbagai macam hal pada pasien yang tampaknya masih kurang mengerti dengan penyakit yang mereka derita. “Pasien yang keenam belas, Mas. Sudah siap?” tanya Mentari sambil menatapku yang berkali-kali mendesah panjang. Aku hanya mengangguk. Tiba-tiba Mentari keluar dari ruangan dan berbicara sejenak dengan para pasien yang sedang antri. “Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Mohon maaf, praktek dokter akan dilanjutkan nanti pukul dua siang. Mohon maaf sekali. Terimakasih, Pak, Bu,” katanya dengan logat jawa yang khas. Mentari kembali ke ruang praktek dan duduk di depanku. “Mas Yongki capek ya?” tanyanya. Aku menggeleng dan tersenyum. “Nggak capek, tapi lelah,” jawabku sambil menelungkupkan kepalaku di meja. Mentari berteriak, “Uuu.” Dan melempar tutup pulpen ke kepalaku. Aku tertawa geli. “Iya, saya capek,” kataku sambil mengangkat kepalaku dari meja dan menatap wajah Mentari. Mentari melakukan hal yang sama. Dia menyandarkan kepalanya di meja. Kami saling berpandangan. Ah, Mentari… entah apa jadinya jika kau tidak membantuku disini, batinku. Tiba-tiba Mentari bangkit. “Mas Yongki genit ah,” kata Mentari sambil menutup mukanya. Dahiku berkerut heran. “Jangan melihat saya seperti itu to Mas. Ndak ilok. Tidak baik,” katanya. Aku tersenyum geli dan mengangguk-angguk tanda setuju. Polos sekali kau, Mentari! Keesokan paginya… Tidak seperti biasanya, Mentari tidak membangunkanku pagi ini. Bu Lurah dan pak Lurah juga tidak ada di rumah. Tiba-tiba seorang pria mengetuk pintu dengan keras. Segera kubuka pintu dan kudapati Mentari sedang berada dalam gendongannya. Pak Lurah, bu Lurah, dan beberapa warga mengikuti di belakangnya. “Mentari?!” Aku berteriak kaget. Mentari membuka matanya sekilas dan menatapku. “Segera baringkan di kamar. Biar saya periksa,” kataku sedikit panik. Mentari telah berada di ranjang sekarang. Aku hendak memeriksanya denyut nadinya saat tiba-tiba tangan Mentari menyentuh tanganku. “Saya ndak mau diperiksa, Mas,” kata Mentari lemah. Aku duduk di sebelahnya, meraba denyut nadinya, dan mencocokkannya dengan jam tangan yang kupakai. Normal kok, batinku sambil menggenggam tangan Mentari. “Ada apa, Mentari?” tanyaku sambil meraba dahinya. Panas! “Saya ndak apa-apa, Mas. Beneran deh, suer,” katanya polos. Aku tersenyum geli dan meminta Mentari meletakkan termometer di ketiaknya. Suhu badan Mentari yang tinggi membuatnya tidak bisa membantuku di klinik. Bertugas tanpa Mentari adalah hal paling repot yang harus kuhadapi saat ini. Ada dua puluh pasien yang harus kutangani dan tidak ada satupun dari mereka yang mau mengantre. Saat itulah tiba-tiba Mentari muncul. Dia langsung membantuku mengatur antrean pasien. “Kamu sudah baikan?” tanyaku saat aku selesai memeriksa pasien terakhirku. Mentari mengangguk dan duduk di hadapanku. Tanganku terjulur meraba dahi Mentari. Hm, demamnya sudah turun, batinku. “Terimakasih ya, Mas. Obatnya manjur. Mas Yongki pinter deh,” puji Mentari. Ada binar ketulusan di matanya saat itu. Aku tersenyum dan segera mengajaknya pulang. Itulah yang membuatku terpikat untuk keempat kalinya. +++ Suhu badan Mentari kembali naik saat kami sampai di rumah. Aku segera meminta Mentari untuk beristirahat. Malam harinya aku mengantarkan semangkuk bubur, segelas air, dan beberapa butir obat ke kamar Mentari. “Loh… Mas Yongki ndak usah repot-repot,” kata Mentari sambil membukakan pintu untukku. Aku menggeleng dan meletakkan nampan yang kubawa di meja. “Saya suapin ya,” tawarku. Mentari tersenyum malu dan mengangguk. Saat itu entah mengapa aku ikut tersipu malu melihatnya. “Besok kamu istirahat saja di rumah. Tidak usah ikut saya praktek,” kataku sambil menyuapkan bubur ke mulut Mentari. Mentari kontan menggeleng. “Kalau Mentari ndak bantuin Mas, nanti Mas repot,” katanya sambil memandangku penuh perhatian. “I can handle it. Trust me,” kataku yakin. Mentari terdiam dan menatap kedua mataku. “Mas yakin?” tanyanya. Aku mengangguk dan memasukkan satu suapan ke mulut Mentari. “Kita ukur suhu badan kamu ya,” kataku sambil menyerahkan termometer yang kukibas-kibaskan terlebih dahulu. Mentari menurut dan meletakkan termometer itu di ketiaknya. Aku mengamati Mentari sejenak. Tubuhnya lemas, suhu badannya tinggi, dan lidahnya sedikit kotor. Jangan-jangan… Malam semakin larut saat aku mendengar rintihan dari kamar Mentari. Pintuku diketuk seseorang. Pak Lurah.”Nak Yongki bisa bantu saya? Suhu badan Mentari tinggi sekali,” kata pak Lurah. Aku mengangguk dan menyambar stetoskopku yang ada di meja. “Mentari,” panggilku sambil menggenggam tangannya. Mentari hanya merintih. Matanya terpejam. “Mas… Mentari ndak apa-apa kok,” jawabnya lirih. Aku mendesah dan memakai stetoskopku. Tidak kupedulikan penolakan-penolakan Mentari saat aku memeriksanya. “Pak, apakah ada rumah sakit di sekitar sini?” tanyaku saat selesai memeriksa Mentari. Pak Lurah mengangguk. “Saya curiga Mentari terkena demam berdarah. Kita harus ke rumah sakit sekarang juga,” kataku. Pak Lurah dan bu Lurah mengangguk. Aku segera mengangkat tubuh Mentari ke mobilku. Satu jam kemudian Mentari tengah ditangani di UGD. Benar dugaanku. Mentari terkena demam berdarah. Trombositnya hanya separuh dari jumlah normal. Pada saat itu juga timbullah rasa sayangku padanya. Rasa sayang yang belum pernah timbul sebelumnya. Rasa sayang sejati seorang pria kepada wanita yang dicintainya… +++ Lagu Dear God milik Avenged mengalun dari ponselku. Aku yang masih terjaga malam itu segera mengangkat telepon yang masuk. “Dokter Yongki, ada pasien yang urgent melahirkan dan butuh operasi. Anda satu-satunya dokter bedah yang dapat kami hubungi,” kata seorang suster di seberang telepon. Aku mengangguk. Kupandangi Mentari yang masih terlelap. “Terimakasih untuk kenangan-kenangan indah itu, Mentari,“ kataku sambil mengecup keningnya. Pandanganku beralih ke seorang bayi laki-laki berusia enam bulan yang tertidur lelap di samping Mentari. Dia adalah Delvon Adirangga, buah cinta kami. Aku tersenyum dan membelai pipinya yang montok. Ayah dan bunda akan selalu menyayangimu, Nak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar