Rabu, 11 Agustus 2010

Sang Mantan

Kehidupanku yang redup tanpa semangat dan hanya kegelapan nyata berubah sepenuhnya, seakan cahanya putih menerangi kesepianku yang telah lama menyelimuti hidupku. Setiap kumemangdang hari yang lalu, penyasalanku semakin membara di hatiku. Sahabatku, Dina bilang kita harus melupakan masa lalu yang rentang dan membuka lembaran baru untuk kehidupan yang baru pula. Sudah kuusahakan semua itu, namun rasa penyesalanku tidak pernah menghilang begitu saja dibenakku, seakan lembaran putih yang baru ingin kebuka berubah menjadi hitam pekat dan aku harus membersihkannya dulu. Namun semua itu berubah ketika seseorang yang bahkan tidak terfikirkan olehku hadir kembali dalam kehidupanku yang rentang ini. Dia seperti malaikat yang dikirim Tuhan untukku, untuk membuat senyumku kembali seperti dulu. Saat aku berjalan menyusuru koridor sekolah, seseorang melewati ku dia berjalan santai seraya tanpa beban dipundaknya, aku berhenti sejenak memangdang punggunnya. Tiba-tiba dia menoleh kearahku dan tersenyum kemudian meneruskan langkahnya kembali. Aku tersentak saat dia tersenyum padaku, buru-buru aku melanjutkan langkahku dan menahan senyum yang mengembang dihatiku terdalam dan berharap dia tidak mengetahui salah tingkahku, malukan! Pikirku.Kabanyakan orang mungkin tidak mood dan malas saat seseorang yang pernah tinggal dalam hati kita dan kemudian menyakiti kita kembali di kehidupan yang baru. Namun itu bukan yang sedang kurasakan sekarang, entah apa dan mengapa yang terjadi kepadaku itu masih membinggungkanoleh diriku sendiri. Tak tahu mengapa saat melihatnya rasa penyesalanku sedikit terobati, dia adalah Evan, sang mantan. Evan kembali kekehidupanku yang telah lama aku lupakan. Setelah pertemuan teakhir kita di taman kota baru Jakarta 4 tahun yang lalu. Ku kira aku tidak akan pernah lagi bertemu dengannya, namun dugaan ku salah. Bahkan dia pindah ke sekolahku di SMA Kartini Jakarta. “Kyky!” seseorang menyapaku, aku menoleh pada suara dibelakangku, “ternyata kau!” ucapku pada Dina, sahabatku. Dina sahabatku sejak duduk dibangku SD, dia tahu seluk beluk dalamku dan dia juga tahu tentang Evan, pastinya. Karna hanya kepada Dina aku mengutarakan dan menumpahkan isi dihatiku. “kau sudah tahu kalau dia pindah ke sekolah ini?” Tanya Dina ragu-ragu, aku tidak menjawab dan hanya mengangukan kepala. Tatapanku masih pada papan pengumuman yang kulihat dari tadi. “jadi bagaimana menurutmu?” Tanya Dila yang belum puas. “memang apa yang ku harap kan padanya, aku bukanlah siapa-siapa untuknya bahkan mungkin dia sudah melupakan hubungan yang pernah terjalin diantara kita, atau mungkin dia sudah lupa denganku!” jawabku, terlihat Dila semakin kesal “aku tahu perasahanmu padanya dan rasa penyesalan itu!” ucap Dila kemudian, aku memandangnya tajam “itu masa lalu bukan,  dan seperti yang kau bilang, kita harus melupakan masa lalu yang rentang dan membuka lembaran baru untuk kehidupan yang baru pula” jawabku santai. “wohh salut dengan ingatanmu yang super!” ucap Dila yang semakin kesal. “apa sih yang kau baca dari tadi?” Tanya Dila, dia memang sadar kalo dari tadi aku sedang membaca pengumuman yang tertempel di papan pengumuman. “lomba puisi!” ucap Dila yang baru saja membaca judul pengumuman itu. “kau tertarik?” tanyaku, yang kini memalingkan pandanganku pada Dila yang tepat berdiri didepanku, tinggi kita hampir sama. “bukannya aku yang harus bilang, Kyky kau tertarik tidak?” Tanya Dila dengan nada lebaynya. “ehhmm entahlah, lomba itu diadakan sebulan lagi, pendaftaran dimulai seminggu lagi, aku harus mengirimkan satu puisi, tapi.. entah kenapa semangatku sedang redum saat ini.”. “apa karna penyesalanmu?” Tanya Dila menebak. Aku tidak menjawabnya, karna itu memang benar dibenakku masih ada sedikit rasa penyesalan yang belum lenyap, ingin rasanya aku mengatakan itu padaya tapi hati ini keburu sakit. Dila masih menunggu jawaban dariku, tapi untung saja Bell masuk terdengar tanpa basa basi aku menarik lengannya dan masuk kekelas. Belum sampai kekelas dia kembali melewatiku, aku spontan berhenti kemudian disusul Dila yang ada dibelakangku “Evan” gumamku lirih, tanpa ku sadari sebelumnya, Evan menoleh dan kemudian tersenyum padaku, saat itu waktu seakan berhenti berputar dan nadiku seakan berhenti berdetak. Dila yang yang beru memperhatikan tingkahku, dia hanya berdaham-daham rame, sebelum berlanjut lama aku menarik Dila dan masuk kekelas sebelum guru-guru datang.
♥ ♥ ♥
Semakin hari berjalan dan waktu ini semakin berutar, perasaan itu masih tetap tebanyang. Sudah ku berusaha keras untuk melupakan hal yang lalu namun hasilnya nihil. Saat dia tersenyum apakah berarti dia masih care denganku, ataukah aku yang kecentilan. Hari ini tanggal 7 July tepat hari ulang tahunnya. Dan hari ini aku berencana untuk memberikan sesuatu untuknya. saat bell istirahat berbunyi itulah saatnya aku memutuskan untuk kekelasnya, XIIipa2 hanya beberpa kelas dari XIIapa5, kelasku. Aku berjalan melewati korodor sekolah menuju kelasnya, ditanganku ada sekotak kado untuknya. aku memang sudah mempersiapakan sendiri. Saat sampai didepan kelasnya, tiba-tiba rasa kekhawatiran dan was-was melandaku, aku bahkan merasa takut untuk bertemu dengannya. Tiba-tiba dia keluar dari kelas, aku terkejut dan menyembunyikan tanganku dibelakang punggungku. “hai!” sapa Evan. “hai juga” balasku gugup. “kau ingin menemuiku?” tanyanya kemudian. Aku memalingkan muka dan berharap dia tidak melihat wajahku. “Evan!” suara memanggil Evan, aku dan Evan sontak menoleh padanya, ternyata Riri kelas XIIips1, “hai beb! Ke kantin yuk!” ucapnya. Dan aku baru sadar kalo Evan bener-bener udah melupakanku, aku menyesal sudah kesini. “kau kesana saja dulu, nanti kususul” jawab Evan pada Riri, dan kemudian Riri pergi. Aku memutuskan untuk pergi dari tempat itu dan kembali ke kelas, itu lebih baik. Karna saat ini perasaah ku hancur lebur seakan di gigiti oleh serigala yang lapar. Dan saat aku melangkah sebuah tangan menarik lenganku, aku menoleh ternyata Evan “kau kesini bukan untuk menyapaku saja kan?” tanyanya dengan candanya. Aku menatapnya tajam, dia benar-benar berubah. Dia lebih tinggi, lebih tampan dan lebih dewasa, namun yang tidak berubah adalah candanya, yang selalu ku rindukan. “apa itu? yang ditangan kamu?” Tanya Evan penasaran yang  melihat bungkusan kotak ditanganku. Aku menoleh pada bungkusan kotak itu, “ngg ini untuk mu” ucapku dengan menyerahkan bungkusan kotak itu yang ditanganku. “untuk ku?” Tanya Evan lagi. “yah, happy birthday” jawabku. Evan menerimanya, dia menatap kotak itu dan kemudian menatapku dan itu membuatku gugup. “kau masih mengigat ulang tahunku?” tanyanya kemudian dia tampak serius dari pada sebelumnya. Aku bahakn tidak tahu, dia akn menanyakan hal itu, itu diluar jangkauan ku. “aku tidak sengaja masih menyimpan pengingat di ponselku” jawabku gugup, kali ini benar-benar gugup. Aku melangkah pergi dari tempat itu, “hai, thanks!” teriak Evan saat aku sudah didepan kelas XIIipa4, aku tidak menjawabnya, aku hanya tersenyum dan melanjutkan langkahku.Saat itu semuanya berubah, Evan selalu menyapaku dia juga terkadang mengajakku. Penyesalanku sedikit terobati, dia tidak melupakanku itu cukup untuk membuat hidup ku tenang sekarang, tidak dihantui rasa bersalah. “Kyky” seseorang memanggilku, aku menoleh tampak Evan dari kejauhan dengan lari-lari kecilnya mengarah padaku. Bell pulang sekolah udah lewat 2 jam yang lalu. “kau belum pulang?” tanyaku saat dia sudah ada disampingku. Dia tidak menjawab langsung, sepertinya dia ngos-ngosan. “ngg kau sibuk sekarang?” tanyanya kemudian. Aku mengeleng, dan kemudian dia menarik lenganku dan menyuruhku naik kemptor yang diparkirkan didepan sekolah. “kau mau mengajakku kamana? Jangan-jangan kau mau menyulikku?” tanyaku saat motor itu melaju cepat, dann entah kemana tujuaannya. “tenang saja, aku tidak akan menculikmu, lagian siapa yang mau denganmu!” serunya dengan nada keras agr terdengar olehku. Jalanan macet banyak kendaraan yang lewat. Sepuluh menit kemudian kami tiba di pantai. Pantai ini begitu sepi, disini juga tidak terlalu luas hanya beberapa meter saja, namun suasananya berbeda degan yang lainya. Disini lebih sejuk dan pohon-pohon kelapa juga tampak dipesisirnya. Pasir disini juga tampak putih dan bersih. Ini bisa untuk tempat pariwisata, kenapa jarang oaring yang berkunjung disini! Pikirku. “disini, aku selalu menumpahkan kekesalanku. Suasanyanya berbeda, disini juga jarang ada orang jadi kau bebas berekspresi disini” ujar Evan, yang kini duduk dan disusul oelhku. “kau benar!”. Burung-burung seakan bernyanyi-nyanyi memainkan alunan music dihatiku. “apakah aku boleh menjadikan ini menjadi tempat faforitku?” tanyaku pada Evan. “tentu saja” jawabnya singkat.
♥ ♥ ♥
Dan hari sesudahnya, Evan sering mengajakku pergi, kadang ke pantai, ke mall kadang juga kita belajar bersama buat mempersiapin ujian nanti. “mungkin dia suka denganmu lagi” ujar Dila saat kuceritakan semua yang terjadi padaku. “yah tidak mungkin lah, dia tuh udah punya cewek”. Mendengar jawabanku Dila langsung melotot padaku. “siapa?” tanyanya penasarang, “Riri” jawabku singkat. Dila tidak percaya bahwa Riri adalah cewek Evan. “yah udahlah kekantin yuk!” ajakku, dengan nada lemas. Dila tidak menjawab, dia langsung melangkahkan kakinya menuju kantin. Tiba-tiba Dilla berhenti, spontan aku yang sedang dibelakangnya juga berhenti. “kenapa berhenti?” tanyaku. Tampak Dila mengingat sesuatu, dia emnepukan keningnya dengan tangannya. “aku lupa, kamu harus bantu aku, titik!” ujarnya yang langsung menarikku menuju kelas. “apa sih?” tanyaku lagi ketika Dila mengeluarkan selembar kertas dan bolpain di meja dudukku. ”bantuin aku buatin puisi, please! Mohon dila, tapi aku belum paham dengan semaunya. “aku harus buat puisi agar nilai bahasa indonesiak yang kurang kemarin memenuhi nilaiku sekarang. please yah!”mohon Dila lagi. “aku lagi tidak punya ide!” selaku. “gimana kalo tema cinta, ceritanya bahwa seseorang saling bercinta kemudian mereka putus gara-gara pangerannya pergi meninggalkan dan putrinya belum bilang  kalau dirinya juga mencintai pangeran itu, rasa menyesal melandanya…”. “bentar.. kok kisahnya mirip!” potong aku. Tapi Dila Cuma nyengir. “besok dikumpulin, BU Asti pasti marahain aku”, ucap Dila dengan ekspresi wajah cemas dan takut. “loh bukannya nilai kamu kemarin bahasa indonesia lumayan bagus kok” protesku. “pokoknya ini harus dikumpulin segera, tolong, kalau kamu masih mengangapku sahabat”, gara-gara Dila memaksa, aku tidak bisa berkutik lagi, terpaksa aku membutkan puisi untuknya. limabelas menit kemudian aku memberikan sepucuk kertas pada Dila yang berisi puisi, untung ajah dia mau membelikan jajan di kantin sebagai mengganti, aku membuatkan puisi untuknya, lumayanlah mumpung gratis.Pulang sekolah Evan mengajakku ke pantai lagi, katanya hari ini ada pameran yang diadakan disana, Evan bilang Duta wisata menjadaikan pantai itu sebagai tempat wisata yang harus dijaga. Dan saat kami tiba disana hanya keramaian yang ada. Pameran perdana yang diadakan disini adalah sebagai acara pembuka pantai ini sebagai tempat wisata. Hari ini adalah hari yang sangat membahagaiankan untukku. Ternyata Evan tidak berubah ia masih tidak suka dengan keramaian, padahal dia jyang mengajakku ke pameran ini, malah dia yang tak mau masuk ke pantai. “kau memakai kalung pemberianku?” tanyaku pada Evan saat ku melihat kalung yang pernah kukasih untuknya melilt dileher manisnya. Karna Evan tidak mau melihat keramaian kami hanya berjalan-jalan disekitar pantai yang sepi. Tampak Evan melirik kalung yang dipakainya, “aku suka kalung ini, mengapa tidak ku pake, sia-sia bukan!” jawabnya. Dia berhenti dan menatapku, dia tampak tersenyum. Aku membalas senyumnya, kemudian dia menarik tanganku dan memberikan sesuatu ditanganku. Sebelum dia mengijinkanku membuka tanganku, dia melangkahkan langkahnya. Tanganku merasa tak enak segera aku membuka tangannku yang menggumpal. Cacing! Pekikku. “aggrrhhh!” aku teriak dan langsung membuang cacing kepasir. “EVAN……….!!!”
♥ ♥ ♥
Sebulan berlalu begitu cepat, bahkan rasa penyasalan yang sekian lama menghantuiku kini semakin lama semakin redup dan menipis dibenakku. Hari-hariku kini serasa berbagai bunga-bunga yang sedang mekar dimusim seminya, tapi sepertinya langit tak mendukung pendapatku, awan gelap dan angin yang berhembus ria dipagi ini memberikan tanda-tanda hari akan hujan. aku berjalan menuju gerbang sekolah sebelum Dila berteriak dibelakangku. “ada apa?” tanyaku. Namun Dila tidak menjawabnya, dia tampak ngos-ngosan, mungkin habis berlari. “kau menang!” jawabnya kemudian. “maksudmu?” tanyaku yang belum mengerti maksud Dila. “maaf, aku mengirimkan puisi yang kau buat sebagai bukti pendaftaranmu. Hari ini”, kemudian dia berlari setelah emnjawab itu. aku baru menyadari maksdunya. Lalu aku mengejarnya dengan rasa marah, kesal, senang campur aduk kayak rujak.Baiklah kita sambut satu persatu finalis lomba puisi sekolah yang nantinya 3 besar yang akan kita pilih sebagai sang puisitis. Baiklah kita sambut pemenang dengan nomor urut pertama, andaini arya yang akan mengekpresikan puisinya dengan membacanya. setelah MC membacakan daftar nama pemenang lomba puisi tahun ini diatas panggung. Tepuk tangan dari siswa-siswi SMA Pelita terdengar ramai. “kau mau kemana, nomor undianmu 10” ujar Dila ketika melihatku akn pergi meninggalkan nya. “aku mau kekelas Vian bentar” jawabku. Aku melangkah menuju kelas Vian, sedang Dila ternyata tidak mau ditinggal dan dia ikut. Spontan aku berhenti dan Dila yang ada dibelakangku menabrakku, saat kami sampai didepan kelas Evan “ada apa?” Tanya Dila lirih hampir membisik malah. “ada Riri didalam” jawabku singkat. Aku memang melihat Riri didalam kelas Evan, dan mereka hanya berdua. Aku tidak mau melihat semua itu namun Dila menahanku untuk pergi dari tempat itu. “beb, aku tau kok, kenapa kamu kesekolah ini, aku juga ngerti apa yang sedang kamu pikirkan sekarang” Suara Dila memang keras, jadi tanpa menguping aku dan Dilapun pasti akan dengar. Namun kami tidak mendengar jawaban darii Evan, mungkin dia memang diam saja. “aku tahu ini semua ada hubungannya kan dengan Kyky, mantan kamu”. Aku langsung tertegun Mendengar namaku disebut-sebut, Dila tampak serius mendengarkannya. Sedangkan aku malah tak enak perasaanku. “aku tahu kamu ngedeketin dia, dan setelah dia tertarik denganmu kamu akan membuangnya karna dia udah pernah menyakitimu”. Mendengar semua itu seraya hantaman keras memukul wajahku yang kini tampak pucat. Evan tampak melirik keluar dan tanpa kusadari dia melihatku didepan kelasnya. Aku langsung berlari dan saat itulah tangisku meledak. Dila menyusulku. Aku berhenti di belokan kantin, disana sepi tak tampak satupun orang, mungkin karna siswa-siswi sedang sibuk menonton lomba puisi yang diadakan di lapangan basket di tengah sekolah dengan panggung seperti biasa. Disana aku benar-benar menangis, tiba-tiba Dila tampak datang menuju ke arahku dan memeluku. Baiklah kita lanjutkan dengan nomor undian 8. MC tampak membacakan nomer undian berikutnya. “sebentar lagi giliranmu, tapi aku tidak memaksa untuk mengikuti lomba ini kok, dari awal kau memang tidak mau, jadi aku tidak akan memaksamu”. Aku diam saja menatap tanaman kecil yang dipot depan kantin, aku tidak bisa menahan tangisku lagi, tampak Dila yang ada disampingku juga matanya berkaca-kaca. Tepuk tangan meria terdengar dari lomba, sesorang yang mempunyai nomor undi 8 tampak turun dari tangga kecil panggung. Dan kita langjutkan dengan peserta nomor 9, kyky aprilia. “itu giliranmu, tapi aku benar-benar tidak memaksakan, aku hanya ingin sahabatku bahagia” ucap Dila. Tapi aku tidak menjawabnya pikiranku masih tertuju pada Evan, kenapa harus percaya dengan. Bodoh! Makiku dalam hati. Saudara kyky aprilia dimohon keatas panggung, suara itu jelas-jelas kudengar, tapi aku tidak beranjak sedikitpun dari tempat itu aku merasa tidak kuat lagi untuk berbicara, seakan mulut ini membeku dengan isak tangis yang tak tertahan. “biar aku yang bilang pada MC bahwa kau mengundurkan diri” ucap Dila yang kini meninggalkan tempat itu. aku berdiri dan menahan lengan Dila, kemudian Dila menoleh padaku “aku akan membacakan puisi itu!” ucapku, yang kini meninggalkan Dila dengan kebimbangan. Kini aku berdiri di panggung tanpa sepucuk kertas apapun yang berisikan puisi yang akan kubaca seperti yang lainnya. “kau tidak membawa puisimu?” Tanya salah satu MC, kerna aku tidak membawa apapun. “aku sudah menghafalnya!” asalku, padahal akupun baru tahu kalo aku ikut lomba ini.
Ingatkah kau kenangan yang dulu
Benci, kesal, marah yang kau lakukan
Tapi satu yang ku selalu ingat
I love you yang kau utarakan
aku berhenti sejenak, rasanya tak kuat lagi tuk berbicara. Tangisku meledak disana dan suasana semaki hening. Kemudian aku melanjutkannya.
Sembunyi-sembunyi pahitnya bersamamu
Kau berusaha untuk menghapus pahitnya itu
Dan masa itu berlalu hingga lautanmu menghancurkannya
Kau ada untukku, walau tak kuinginkan
Kau datang padaku, walau tak kuharapkan
Dan saat kau pergi, semuanya hampa bagiku
Kehilangan bagaikan serparuh jiwaku menghilang
ditelan kesepian
kini penyesalan bertubi-tubi menghantam
tak kuat aku rasa, seraya hidupku tak ada arti
bagai lautan yang kering rentang tanpa air
waktu berputar dan kini kau kembali dengan senyuman
kau rangkul tanganku, memberikan semangat baru
namun semuanya tak nyataa
ku hanya mengejar harapan kosong
bahakan anginpun tak dapat meraih itu
hingga tubuh ini merasa tak berdaya lagi
wahai sang mantan
aku berhenti, semua tepuk tangan bahkan lebih ramai dari peserta lain terdengar. Pipiku basah dipenuho air mata yang terus mengalir. Tampak Dila pun ikut menangis. Tubuhku lemas, jemariku terasa dingin dan aku berlari pergi dari panggung, semua penonton menatap kepergiaanku. Aku berlari di koridor-koridor sekolah, tak peduli semua penghuni sekolah menatapku, tak peduli kaki ini terasa melambat. “Kyky!” Evan meneriaki namaku, namun aku tak memperdulikannya.Aku tidak tahu kemana aku kan pergi, tapi pantai itu lah yang pertama kali muncul dibenakku. Aku pergi ke pantai yang sering kudatangi bersama Evan. Berharap disana sepi dan dugaanku benar tak seorangpun ada dipantai itu, aku tidak memikirkan kenapa karna aku tak mau memikirkan. Aku memandang sejauh pantai, lombak-ombak seakan bergerak-gerak menerjangi pasir. Bunyi langkah terdengar dibelakangku dan kemudian berhenti. “apa tujuanku kembali kekehidupanku?” tanyaku pada sosok yang datang dibelakangku. Aku tahu dia Evan parfumnya yang kukenal, aku tidak menoleh pdanya.”apa hanya untuk menyakitiku?” tanyaku lagi tapi masih tetap tak menoleh. “apa maksudmu?” Tanya Evan kemudian. “kenapa kau tak puas setelah apa yang ka perbuat untukku, kenapa  kau senang melihatku sakit, Evan” teriakku padanya yang kini ku menatapnya, pipiku masih basah. “aku bersumpah, aku tidak pernah berysaha menyakitimu Ky, tidak pernah sekalipun” ucap Evan, dia menatapku tajam. Aku menangis dan tubuhku lemas, hingga akhirnya aku terduduk. “jangan mendekat!” teriakku saat Evan mulai mendekat. “tapi kenapa kau pergi meninggalkanku tanpa pamit, aku pergi tanpa memberitahuku. Kenapa aku harus tahu bahwa kau pergi dari orang lain, kenapa Evan?” tanyaku dengan nada kesal, marah kecewa. Evan diam saja dia tampak belum mengerti, atau memang pura-pura tak mengerti. “kau pergi tanpa memberi kesempatan untuku, kesempatan bahwa aku mulai menyayangimu!” ucapku. Tangisku meledak lagi, aku menundukan kepala agar Evan tidak melihat wajahku. Evan mendekat dan kemudian memelukku. “aku tidak pernah pergi dari kehidupanmu, aku akan tetap disisimu dan asal kau tahu kau akan selalu ada dihatiku sampai kau bilang bahwa kau mencintaiku” ucap Evan yang kini memelukku erat. “aku mencintaimu, sang mantan!” ucapku malu-malu, tapi itulah yang ku inginkan dari dulu, mengatakan bahwa aku mencintainya. Aku tersenyum manja, rasanya penyasalan dulu bbenar-benar lenyap. “jangan katakan aku sang mantan. Karna aku bukanlah mantanmu, aku tetap milikmu dari dulu”, ucapnya halus. “heh tunggu kau bilang aku tak pamit saat aku pergi?” tanyanya kemudian, aku melepaskan pelukaknya namun kita masih terduduk. “kau memang tak pamit” jawabku singkat. “aku memberimu surat, dan menyuruhmu pergi ketaman. Kau tahu betapa lamanya aku menunggu dan ternyata kau tak datang!”. “aku tidak menerima surat apapun” bingungku. “sudahlah, lihat itu” Evan menunjukan dua burung merpati putih yang berduaan di pesisir pantai. Aku dan Evan sama-sama tertawa, Evan menoleh padaku dia mengusapkan air mata dipipiku. Dia menatapku tajam dan akupun melakukan hal yang sama, kemudian dia mencium keningku. “I love you”
-tamat-
by: novia Andini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar